INFO PEMESANAN: SILAHKAN DOWNLOAD GRATIS - EMAIL skripsitesismu@gmail.com - SILAHKAN DOWNLOAD GRATIS - EMAIL skripsitesismu@gmail.com - DOWNLOAD GRATIS

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM JINAYAH

A. Latar Belakang Masalah  
DOWNLOAD DISINI
Dalam abad XX ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi semakin pesat, karena muncul berbagai penemuan yang sangat bermanfaat bagi manusia. Khususnya di bidang kedokteran telah banyak penemuan obat-obatan, alat-alat mekanik, serta cara-cara perlindungan terhadap penyakit.[1]
Hampir semua aspek kehidupan manusia tersentuh oleh teknologi, harus disadari bahwa teknologi telah membawa banyak manfaat untuk umat manusia.[2] Di antara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan perkembangan teknologi di bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut, diagnose mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan. Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif. Dengan peralatan kedokteran yang modern itu,rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup seorang pasien pun dapat diperpanjang untuk sesuatu jangka waktu tertentu, dengan memasang sebuah “respirator“. Bahkan perhitungan saat kematian penderita penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih tepat.

Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.[3]
Yang menjadi persoalan ialah jenis kematian yang ketiga, yaitu kematian dalam kategori euthanasia atau biasa disebut juga mercy killing. Euthanasia biasa didefinisikan sebagai a good death atau mati dengan tenang. Hal ini dapat terjadi karena dengan pertolongan dokter atas permintaan dari pasien ataupun keluarganya, karena penderitaan yang sangat hebat dan tiada akhir, atau tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pertolongan pengobatan seperlunya.
Memberikan hak kepada individu untuk mendapatkan pertolongan dalam pengakhiran hidupnya, bagi banyak negara masih menjadi perdebatan yang sengit. Sampai sekarang ini, kaidah non hukum yang manapun (agama, moral, kesopanan), menentukan: membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh adalah perbuatan yuang tidak baik.[4]


Pada dasarnya masalah euthanasia ini timbul dari adanya suatu dilema, apakah seorang dokter mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau dari keluarganya, dengan dalih untuk menghilangkan atau mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik bathin, dimana sebagai manusia biasa sang dokter tidak sampai hati menolak permintaan dari pasien dan keluarganya itu. Apalagi keadaan si pasien yang sekarat berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang diberikan itu maka dokter telah melanggar hukum, disamping itu juga telah pula melanggar sumpah dokter yang telah diucapkannya sebelum menjalankan profesi sebagai seorang dokter.
Dalam memecahkan masalah ini, ada cara yang cukup unik yaitu bila keadaan antara hidup dan mati (maribundity), maka proses dan usaha medis jika tiada berpotensi lagi, penyembuhan harus dihentikan. Dengan perkataan lain, bahwa dalam keadaan demikian maka pembunuhan karena kasihan/karena terpaksa yang diijinkan oleh dokter diperbolehkan. Dalam hubungan itu, bahkan ada dokter yang berpendapat bahwa dokter itu boleh mengeluarkan atau mencabut alat yang diperjuangkan untuk memperpanjang hidup dari seorang pasien yang dalam keadaan expiration of the soul, yaitu apabila proses kematian sudah mulai nampak.[5]
Menurut dr. Kartono Muhammad (Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia), seperti dikutip Akh Fauzi Aseri. Ia mengatakan seseorang dianggap mati apabila batang otak yang menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi. Tegasnya, batang otak merupakan pedoman untuk mengetahui masih hidup atau matinya seseorang yang sudah tidak sadar. Dari sini mesin-mesin pembantu seperti pemacu jantung dapat dicabut tanpa dituduh melakukan euthanasia terhadap penderita.[6]
Lahir dan mati adalah takdir, demikianlah pendapat dari sebagian besar masyarakat Indonesia, dan tidak ada seorangpun yang dapat menghindari/menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Kematian dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, karena uzur, penyakit, kecelakaan, bunuh diri, bahkan dibunuh oleh orang lain, semua menurut sebagian besar masyarakat Indonesia adalah takdir.
Pada umumnya, kelahiran selalu membawa kebahagiaan, dan kematian selalu membawa kesedihan. Kematian secara alamiah, dapat selalu diterima sebagai sesuatu hal yang wajar, sebab manusia pada saatnya akan mati, tetapi mati tidak secara alamiah adalah mati yang tidak diharapkan.
Pada mati tidak secara alamiah, apakah itu pengakhiran hidup dengan bunuh diri (zelfmoord) atau minta “dibunuh” (diakhiri hidupnya – selanjutnya euthanasia), akan ada hubungannya dengan hak seseorang untuk mati secara tidak alamiah (selanjutnya “hak untuk mati”) dari seseorang.[7]
Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati, adalah hak asasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of selfdetermination –TROS), sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[8]
Euthanasia dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang menyangkut kepada suatu tindakan untuk penghentian kehidupan seseorang, walaupun dengan kerelaan dan atas permintaan orang itu sendiri, maka perbuatan ini bisa dimasukan sebagai jarimah pembunuhan. Karena pembunuhan adalah peniadaan atau perampasan nyawa seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh anggota badan disebabkan ketiadaan roh sebagai unsur utama menggerakan tubuh.
Dalam Islam masalah kematian manusia merupakan hak prerogatif Allah SWT. Jadi perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan untuk menghentikan hidup seseorang itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendakNYA. Allah SWT melarang perbuatan yang mengarah kepada kematian dalam bentuk apapun, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, termasuk di dalamnya euthanasia, karena tindakan pembunuhan secara euthanasia ini merupakan pembunuhan tanpa hak, Allah berfirman dalam al-Qur'an:

لا تقتلوا أنفسكم ان الله كان بكم رحيما0 [9]
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق ذالكم وصاكم به لعلكم تعقلون0 [10]
من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الارض فكانما قتل الناس جميعا0 [11]
وهو الذي أحياكم ثم يميتكم ثم يحييكم ان الانسان لكفور [12]

Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab:
1. Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.
2. Janda (yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi (dengan mata kepala sendiri).
3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah Islam.[13]
Jika dibandingkan dengan ketiga faktor di atas maka terjadinya tindakan euthanasia tidak ada satupun karena alasan bil haq.
Jadi tindakan euthanasia merupakan tindakan pembunuhan dengan unsur kesengajaan dan direncanakan, walaupun ada unsur kerelaan dari pasien. Dalam unsur euthanasia terdapat tiga hal yaitu dokter sebagai pelaku euthanasia, keluarga sebagai pihak pemberi izin dan sisakit sebagai korban euthanasia. Tindakan euthanasia dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dengan adanya unsur perencanaan. Jadi dalam masalah euthanasia ini merupakan tindakan pembunuhan yang disengaja dan direncanakan
Di dalam hukum Islam, kerelaan korban untuk dibunuh bukan suatu penyebab kebolehan pembunuhan, karena kerelaan korban itu bukan merupakan unsur jarimah pembunuhan, sekalipun ada prinsip lain bahwa korban atau keluarganya berhak memaafkan sanksi qisas atau diyat atau keduanya.
Allah melarang adanya pembunuhan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pada dasarnya Allah memberikan hukuman qisas bagi pembunuhan, yang merupakan hak Tuhan, tetapi pihak keluarga diberikan hak atas tuntutan tindak pidana baik itu pembunuhan maupun pelukaan berupa hukuman diyat atau dimaafkan secara mutlak. Karena hal ini sangat berguna untuk kelangsungan hidup pihak keluarga korban maupun pihak pelaku kejahatannya.
Permasalahan Euthanasia ini sampai sekarang masih menimbulkan pro dan kontra baik pada pandangan hukum, etika, agama, budaya dan lain-lain pada umumnya dan juga pada pandangan Islam dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam) khususnya, dalam menentukan hukumnya. Untuk itu penyusun berusaha meneliti masalah Euthanasia ini dalam Prespektif Fiqh Jinayah.

B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan pokok masalah sebagai berikut:
Apakah euthanasia merupakan tindak pidana dalam tinjauan Fiqh Jinayah?

C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan pokok masalah di atas, penyusunan skripsi ini bertujuan untuk:
Menjelaskan bagaimana pandangan Fiqh Jinayah terhadap masalah euthanasia.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah :
Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran di dalam menambah khasanah pengetahuan tentang hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah.

D. Telaah Pustaka
Kajian tentang Euthanasia dalam prespektif medis, hukum, psikologi, etika dan ham banyak dibicarakan oleh banyak praktisi, seperti ulama, ahli hukum, ahli medis, psikolog.
Ada beberapa buku yang telah membahas tentang masalah euthanasia, diantaranya: dalam buku Euthanasia dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, karya Petrus Yoyo Karyadi. Buku ini meninjau dan menyoroti permasalahan euthanasia dari segi HAM, diantaranya mengemukakan tentang apakah tindakan euthanasia merupakan hak asasi manusia?. Dan juga menjelaskan bahwa dalam hak asasi manusia terdapat hak untuk hidup dan hak untuk mati. *
Dalam buku Mengapa Euthanasia ?: Kemajuan Medis dan Konsekuensi Yuridis, karya F.Tengker, buku ini menjelaskan bahwa Euthanasia atau kematian baik adalah demi kepentingan pasien semata-mata bukan untuk kenyamanan orang-orang yang sehari-hari berada di sekelilingnya. Euthanasia harus berlangsung atas dasar suka rela, yaitu atas permintaan pasien itu sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak lain. Dan dari segi yuridis dalam masalah euthanasia ini. Jika dokter melakukan tindakan euthanasia secara non alami maka dokter bisa dituntut pasal 344 karena bersalah menghilangkan nyawa orang atas permintaan, dan pasal 354 karena menolong orang bunuh diri. *
Dalam buku Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, karya Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, buku ini menjelaskan kedudukan Euthanasia dengan Hak Asasi Manusia, yang memuat tentang Hak untuk Mati seseorang dan kaitannya dengan hukuman mati. Dan hal ini juga dilihat dari prespektif hukum pidana; bagaimana kedudukan Euthanasia dalam KUHP dan juga bagaimana prospeknya di masa depan dalam KUHP. *
Dalam Skripsi yang berjudul "Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Euthanasia yang dipaksa menurut KUHP dan Hukum Islam", hasil karya Imawan Mukhlas Abadi, yang merupakan study analisis komparatif terhadap KUHP dan hukum Islam tentang pelaku euthanasia yang dipaksa . Dalam karya tulis tersebut menekankan cara dilakukannya euthanasia yang ada unsur paksaannya dan sanksi hukum terhadap pelaku euthanasia yang dipakai, hubungannya dengan HAM, sebagian yang kontra menganggap hak untuk hidup sebagai dasarnya, bagi yang pro menganggap selain punya hak untuk hidup manusia juga mempunyai hak untuk mati. *
Dalam skripsi yang berjudul "Euthanasia dalam Prespektif Etika Situasi", karya Anna Iffah Akmala, yang merupakan pandangan Etika situasi terhadap Euthanasia yang meliputi manusia dalam sudut pandang Etika Situasi, kehidupan dan kematian yang manusiawi serta pandaangan Etika Situasi terhadap Euthanasia. Juga terdapat perkembangan euthanasia di berbagai negara dan ethanasia dalam tinjauan berbagai agama. *
Di sekian penelitian yang ada yang membahas euthanasia ini semuanya mengacu pada permasalahan medis sebagai objek penelitian dasarnya, dan penelitian-penelitian di atas merupakan bentuk-bentuk macam penelitian dalam segi medis ditinjau dari berbagai aspek. Yang membedakan antara penelitian yang peneliti lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini peneliti meneliti permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah, yang mana tindakan euthanasia yang terdapat suatu unsur tindakan pembunuhan, yang dilakukan secara suka rela atas permintaan sendiri dikarenakan sakit. Dalam Skripsi ini akan dibahas apakah tindakan euthanasia ini termasuk pembunuhan dan dapat dikenai sanksi, sebagaimana tindakan pembunuhan pada umumnya, dalam prespektif Fiqh Jinayah. Sedangkan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian yang meninjau dari segi Hukum Pidana Positif, Komparasi Hukum Islam dengan Hukum Pidana Positif dalam masalah euthanasia yang dipaksa, HAM, Konsekwensi Yuridis dan kajian Etika.

E. Kerangka Teoretik
Euthanasia merupakan istilah untuk pertolongan medis agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal dunia diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.[14]
Menurut Petrus Yoyo Karyadi, euthanasia adalah dengan sengaja dokter atau bawahannya yang bertanggungjawab kepadanya atau tenaga ahli lainnya melakukan suatu tindakan medis tertentu untuk mengakhiri hidup pasien atau mempercepat proses kematian pasien atau tidak melakukan tindakan medis untuk memperpanjang hidup pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran sulit untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa permintaan dan atau keluarga sendiri, demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.[15]
Euthanasia pada garis besarnya ada dua, yakni euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Definisi euthanasia aktif ialah sengaja diambil tindakan yang berakibat kematian, sedang euthanasia pasif ialah membiarkan perawatan yang dapat memperpanjang kehidupannya.[16]
Dalam euthanasia aktif, sukarela atau tidak sukarela, kematian merupakan tujuan tindakan seseorang. Tindakan yang diambil, seperti dosis besar obat tidur atau suntikan racun, dimaksudkan untuk mengakhiri kehidupan pasien. Sedangkan euthanasia pasif berusaha untuk memecahkan masalah-masalah moral mengenai perawatan pasien yang tidak ada harapan lagi atau yang sudah mendekati ajalnya dengan menghentikan segala terapi, sehingga bisa berlangsung penyelesaian secara alamiah.[17]
Euthanasia aktif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek hidup pasien atau untuk mengakhiri hidup pasien tersebut.
Berdasarkan akibatnya, euthanasia aktif kemudian dibagi menjadi dua golongan, yaitu euthanasia aktif langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan suatu tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien sedemikian rupa sehingga secara logis dapat diperhitungkan bahwa hidup pasien diperpendek atau diakhiri. Euthanasia aktif tidak langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya tanpa maksud untuk memperpendek hidup pasiennya, melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien dengan mengetahui adanya risiko bahwa tindakan medik ini dapat mengakibatkan diperpendek/ diakhiri hidup pasiennya.[18]
Euthanasia aktif adalah proses kematian diringankan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui.
Menurut Yusuf Qardawi yang dimaksud euthanasia aktif (taisir maut al-faal) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit, karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), sedangkan euthanasia pasif (taisir maut al-munfa'il) tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetepi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.[19]
Dalam masalah euthanasia ini tidak terlepas dari beberapa pihak, yaitu pasien sebagai yang di euthanasia, dokter sebagai pelaku (pengeksekusi) euthanasia, dan keluarga sebagi pihak penyetuju tindakan euthanasia. Dan yang diteliti dalam masalah euthansia ini adalah euthanasia aktif secara langsung yang dilakukan atas permintaan pasien, yang dibebankan kepada pelaku euthansia yaitu dokter sebagai pihak pengeksekusi euthanasia.
Dalam hal ini permintaan pasien harus mendapat perhatian yang tegas agar tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh, harus dibuktikan dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti lainnya, alat-alat bukti lainnya yaitu: kesaksian-kesaksian, surat-surat, pengakuan dan isyarat-isyarat.[20]
Hukum Islam atau Fiqh Islam, telah mengatur perikehidupan manusia secara menyeluruh mencakup segala macam aspeknya, diantaranya adalah masalah-masalah hukum yang berhubungan dengan kepidanaan, seperti macam-macam perbuatan pidana dengan ancaman pidana disebut al-jinayah.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa euthanasia khususnya euthanasia aktif, itu merupakan suatu perbuatan jarimah pembunuhan karena sudah memenuhi unsur-unsur jinayah yakni:
1. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuaatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal” (ar-Rukn asy- Syar’i)
2. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukaan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material” (ar-Rukn al-Maddi)
3. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral” (ar-Rukn al-Adabi)[21]
Dalam konteks di atas jelas bahwa pelaku euthanasia aktif bisa dikenai sanksi pembunuhan sengaja. Berbicara tentang pembunuhan, maka perlu diberikan klasifikasinya agar mudah menempatkan/ memposisikan suatu tindak pidana pembunuhan menurut kadar ukurannya. Pembunuhan adakalanya terjadi karena disengaja oleh pelaku dan adakalanya tidak disengaja. Berkenaan dengan ini, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan. Perbedaan pengklasifikasian tersebut adalah:
1. Ulama Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi dua yaitu: pembunuhan sengaja (qatl al-'amd) dan kekeliruan (qatl al khata').
2. Jumhur mengklasifikasikannya menjadi tiga (sulasi), yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja (syibh al-'amd) dan kekeliruan.
3. Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikanya menjadi empat (ruba'i), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, dan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata').
4. Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi lima (khumasi), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, serupa kekeliruan, dan pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub).[22]

Untuk mengetahui arti dari jenis-jenis pembunuhan ini maka perlu diperjelas artinya yaitu sebagai berikut:
1. pembunuhan sengaja (qatl al-'amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya. Jadi, matinya korban merupakan bagian yang dikehendaki si pembunuh.
2. pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-'amd), yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi mengakibatkan kematian. Perbuatan itu sendiri sengaja dilakukan dalam objek yang dimaksud, namun sama sekali tidak menhendaki kematian si korban.
3. pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata'), yaitu kesalahan dalam berbuat sesuatu yang mengakibatkan matinya seseorang. Walaupun disengaja, perbuatan tersebut tidak ditujukan terhadap korban. Jadi matinya korban sama sekali tidak diniati.[23]
4. pembunuhan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata'), pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan suatu aktivitas tertentu, akan tetapi di luar kesadarannya menyebabkan kematian orang lain.
5. pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub), pelaku membuat sarana yang pada awalnya tidak dimaksudkan untuk mencelakakan orang lain, tetapi karena kelalaiannya, pada akhirnya menyebabkan kematian orang lain.[24]
Dari jenis-jenis pembunuhan di atas, bila melihat kepada maknanya euthanasia yaitu suatu perbuatan penghilangan nyawa seseorang atas permintaan orang itu sendiri, berarti hal ini termasuk dalam pembunuhan disengaja, karena telah ada unsur perbuatannya dan unsur tujuannya yaitu agar orang tersebut mati. Tetapi dalam hal ini yang perlu dipertanyakan apakah unsur kerelaan atas si terbunuh termasuk ke dalam unsur pembunuhan disengaja.
Apabila euthanasia aktif itu didukung oleh kerelaan si pasien maka yang demikian disebut tindakan bunuh diri dengan meminjam tangan atau melalui orang lain..
Masalah euthanasia merupakan masalah yang sangat sulit, dan masalah ini biasanya timbul oleh alasan bahwa pasien sudah tidak tahan lagi menanggung derita yang berkepanjangan atau tidak ingin meninggalkan beban ekonomi atau tidak punya harapan untuk sembuh.
Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia[25], lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi mengatakan, bahwa kehidupan seseorang bukanlah miliknya sendiri, karena dia tidak menciptakan dirinya (jiwanya), anggota tubuhnya, ataupun selnya. Dirinya hanyalah titipan yang dititipkan Allah. Karena itu ia tidak boleh mengabaikannya, apalagi memusuhinya atau memisahkannya dari kehidupan.[26]
Manusia dituntut untuk memelihara jiwanya (hifz an-nafs). Karena memelihara nyawa manusia merupakan salah-satu tujuan utama dari lima tujuan syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Jiwa meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah Swt. Oleh karenanya, seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkannya tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri.[27]

F. Hipotesis
Euthanasia adalah istilah dalam dunia medis yang merupakan keputusan dokter terhadap keadaan penyakit yang dialami pasien, bahwa penyakit yang diderita pasien tidak dapat disembuhkan lagi dan diberikan jalan pintas yaitu dengan jalan medis juga, biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi syaraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Memutuskan hukum dalam masalah euthanasia ini bukan merupakan hal yang mudah, dalam al-Qur'an tidak ada ayat yang menyinggung terhadap masalah euthanasia ini secara khusus. Namun karena masalah euthanasia ini berhubungan masalah pembunuhan, walaupun terdapat unsur kerelaan dari pihak siterbunuh maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan jarimah, dan hal ini dilarang oleh Allah dengan ancaman neraka jahannam. Dan sanksi pembunuhan ini adalah hukum Qisas sesuai dengan kadar dan jenis pembunuhannya
Perbuatan euthanasia sama dengan bunuh diri yang dilakukan dengan meminjam tangan orang lain, dan hal ini dianggap sebagai perbuatan yang menentang takdir Tuhan. Maka euthanasia ini merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari pencipta-Nya, yaitu Allah SWT.

G. Metode Penelitian
1.Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan ialah kepustakaan (literatur)

2.Sifat penelitian
Penelitian ini bersifat eksploratif, yaitu meneliti permasalahan euthanasia sebagai suatu permasalahan baru, sesuai dengan perkembangan zaman yang disesuaikan dengan keadaan sekarang, yang mana euthanasia yang terdapat dalam dunia medis diteliti dengan prespektif fiqh jinayah (Hukum Pidana Islam), dan dalam penyelesaiannya dibantu dengan pendapat-pendapat para ahli dan para mujtahid

3.Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, ialah pendekatan normatif. Artinya dalam pembahasannya melakukan pendekatan terhadap permasalahan yang dititikberatkan pada aspek-aspek hukum, dalam hukum Islam lebih khusus dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam).

4.Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data dalam penyusunan skripsi ini, ialah menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Penyusun menelusuri bahan penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti. Dalam rangka pengumpulan data, penyusun menggunakan teknik dokumentasi, yaitu penyusun melakukan observasi terhadap sumber-sumber data yang berupa dokumen baik primer ataupun sekunder, kemudian dikumpulkan dan diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan data yang diperlukan.

5. Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara berfikir deduktif. Deduktif artinya meneliti dan menganalisa macam-macam bentuk euthanasia, kemudian ditentukan, jenis euthanasia yang termasuk kedalam perbuatan jarimah, serta pelaku tindakan euthanasia dan juga sanksi hukum apa yang harus diterapkan bagi perbuatan euthanasia ini.

H. Sistematika Pembahasan
Agar tidak terjadi tumpang tindih dan untuk konsistensi pemikiran, penulis membuat sistematika pembahasan yang terdiri dari bab-bab yang saling berhubungan dan saling menunjang yang satu dengan yang lainnya secara logis.
Pada bab pertama, dimulai dengan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang permasalahan yang akan dicari jawabannya, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, hipotesis, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Setelah bab pertama merupakaan pendahuluan ialah bab kedua, tinjauan umum dan masalah sekitar euthanasia, bab ini membicarakan mengenani pengertian euthanasia serta permasalahannya yang sangat erat hubungannya dengan euthanasia, yakni tentang macam-macam euthanasia, sebab-sebab yang memungkinkan dilakukannya euthanasia, dan juga beberapa tinjauan baik dari segi Medis, HAM dan Hukum Pidana Positif (KUHP).
Pada bab ketiga berisi tentang Prinsip-prinsip Fiqh Jinayah terhadap Euthanasia yang meliputi pengertian Hukum Pidana Islam, jarimah Qisas-diyat, tujuan Fiqh Jinayah serta aspek kemanusiaan dalam Fiqh Jinayah, sebagai acuan dalam meninjau permasalahan pidana khususnya dalam masalah euthanasia.
Pada bab keempat berisi tentang Praktek Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh Jinayah yang meliputi Euthanasia aktif sebagai jarimah, Serta sanksi hukum bagi pelaku euthanasia.
Bab kelima, pada bab yang terakhir ini, memuat tentang kesimpulan dan saran-saran. Setelah diuraikan secara panjang lebar dan terperinci pada bab-bab sebelumnya, langkah selanjutnya adalah mengambil suatu kesimpulan dari apa yang telah menjadi pokok pembahasan dalam karya ilmiah ini. Sedangkan saran-saran diajukan pula, demi perbaikan dan kesempurnaan dari pengaturan masalaah euthanasia yang telah ada serta pandangan untuk masa-masa yang akan datang.

[1] Ali Ghufron Mukti dan Adi Heru Sutomo, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal, Dan Operasi Kelamin dalam tinjauan Medis, hukum, dan Agama Islam, cet, ke.1 (Yogyakarta: Aditya Media,1993), hlm.28.
[2] Thomas A Shannon, Pengantar Bioetika, terj, K. Bartens, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 7
[3] Djoko Prakoso dan Djaman Andi nirwanto, Euthanasia hak asasi manusia dan hukum pidana, cet. ke-1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 9-10
[4] Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm.106
[5] Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia, hlm. 59
[6] Akh. Fauzi Aseri, "Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam," dalam Chuzaimah T. Yanggo dan HA. Hafiz Anshary AZ, (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm.66
[7] Wila Chanrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, hlm.102
[8] Ibid., hlm.103.
[9]An-Nisa (4): 29
[10]Al-An'am.(6): 151
[11] Al-Maidah (5): 32
[12] Al-Hajj (22): 66
[13] Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1971), XI:43. Riwayat Ibnu Masud.
* Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, cet.ke-1, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001)
* F. Tengker, Mengapa Euthanasia? Kemampuan Medis dan Konsekuensi Yuridis, (Bandung: Nova, t.t)
* Djoko Prakoso dan Djaman Andi NIrwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indah, 1984)
* Imawan Mukhlas Abadi, "Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Euthanasia yang dipaksa menurut KUHP dan Hukum Islam", Skripsi Strata Satu Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (1999)
* Anna Iffah Akmala, "Euthanasia Dalam Prespektif Etika Situasi", Skripsi Strata Satu Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (2002).
[14] Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1987), Vol.2:978, Artikel Euthanasia.
[15] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia. hlm.28
[16] Abdul Jamali, dkk, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter dalam Menangani Pasien (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990), hlm.132.
[17] Thomas A Shanon. terj. K Bartens. pengantar bio etika, (Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 69-71.
[18] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.31
[19] Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), II:749-750.
[20] Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia, hlm.71-72
[21] A. Djazuli, Fiqh Jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam), cet. ke-2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.3.
[22] Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal. Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), cet. ke-1, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.9. Lihat juga Abd al-Qadir 'Awdah, at-Tasyri' al-Jina'I al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wad'I, (Bayrut: Muassasat ar-Risalat, 1992), II: 7-9.
[23] Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung, CV Pustaka Setia, 2000), cet ke-1 desember 2000, hal 117. Lihat juga A. Djajuli, Fiqh JInayat (upaya menaggulangi Kejahatan Dalam Islam, cet. ke-2, (Jakarrta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 123
[24] Jaih Mubarok, kaidah fiqh jinayah. hlm.17.
[25] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1994), hlm.161.
[26] Yusuf Qardawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Oleh Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, cet.ke-1, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hlm. 379.
[27] Akh. Fuzi Aseri, Euthanasia…, hlm.69.