INFO PEMESANAN: SILAHKAN DOWNLOAD GRATIS - EMAIL skripsitesismu@gmail.com - SILAHKAN DOWNLOAD GRATIS - EMAIL skripsitesismu@gmail.com - DOWNLOAD GRATIS

Islam dan Pergeseran Politik di Indonesia: Peran Intelektual Islam dalam Merespon Isu Demokratisasi, 1970-2000

A. Latar Belakang Masalah
Selama masa penjajahan Belanda, kondisi umat Islam sangat menyedihkan. Hanya pada periode pendudukan Jepang yang kendatipun singkat merupakan episode pembuka kembali keterlibatan umat Islam Indonesia dalam dunia politik.[1] Sumbangan terbesar Jepang bagi politik Islam Indonesia terletak pada upaya untuk menyatukan berbagai kekuatan Islam dalam suatu organisasi Masyumi yang didirikan pada 7 Agustus 1945, yang didukung baik oleh Muhammadiyah maupun Nahdatul Ulama (NU).[2] Usaha Wahid Hasyim beserta tokoh-tokoh Islam lainnya untuk lepas dari pengaruh Jepang pada awalnya berhasil baik. Hal ini terbukti, ketika Jepang mengalami kekalahan dalam perang, sementara mereka yang terlibat dalam kepengurusan Masyumi tetap memainkan peran penting dalam politik nasional Indonesia.[3]

Pada saat-saat akhir pendudukannya, Jepang beralih orientasi dengan memberikan perhatian lebih banyak kepada kelompok nasionalis sekuler. Walaupun tetap memberikan perlindungan kepada kelompok Islam, namun mereka lebih mempersiapkan golongan nasionalis sekuler untuk memegang kendali politik nasional setelah Indonesia merdeka. Kenyataan ini terlihat dari wakil-wakil Islam yang duduk dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tahun 1944-1945. Dalam komite inilah terjadi perdebatan ideologis yang serius antara wakil-wakil golongan nasionalis Islam dan golongan nasionalis sekuler. Perbedaan pendapat yang muncul antara dua golongan yang secara ideologis berbeda itu dalam menetapkan dasar ideologi Pancasila.
Perbedaan itu berlangsung terus. Untuk tidak menimbulkan perpecahan, karena perbedaan ideologis yang berlarut-larut itu, kompromi pun diambil; maka tercapailah kesepakatan bersama sebagaimana terumus dalam Piagam Jakarta,[4] didalamnya disepakati bahwa Pancasila merupakan dasar Negara. Disamping itu dicantumkan pula rumusan "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Setelah kemerdekaan bangsa dicapai pada tahun 1945, sebagai imbal politik yang proporsional, wajar jika kaum nasionalis Islam kemudian menuntut dan memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara Indonesia yang baru merdeka. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta yang telah ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 itu dibicarakan kembali, dengan alasan demi persatuan nasional, "tujuh kata" yang sangat berarti bagi umat Islam itu dihapus. Toleransi yang diberikan kaum Nasionalis Islam tidak dibalas setimpal oleh kaum Nasionalis sekuler.
Sejak kemerdekaan diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan Negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler dan sedikit demi sedikit menjadikan Indonesia sebagai Negara sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 1970-an kalangan Islam berada di luar Negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan Negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan Islam dan Negara.
Al-Chaidar dalam bukunya Reformasi Prematur, memaparkan posisi umat Islam Indonesia sebelum Orde Baru melalui pengamatan terhadap tiga periode (masa); yaitu: Masa Revolusi Fisik (1945-1949), Masa Demokrasi Konstitusional (1950-1959), dan Masa Demokrasi Terpimpin (1957-1965).[5]
Masa Revolusi Fisik (1945-1949) selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi. Menyusul kekalahan Jepang dengan tentara-tentara sekutu, Belanda berusaha kembali menduduki kepulauan Nusantara. Selama periode ini, Al-Chaidar lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada hambatan yang menghalangi hubungan politik antara pemimpin dan aktivitas Islam politik dengan kelompok nasionalis. Untuk menghadapi revolusi fisik dalam berhadapan dengan Belanda dan kekuatan sekutu, perdebatan-perdebatan diantara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dan negara dihentikan sementara. Dan tidak diragukan lagi, para pendiri republik merasa bahwa mereka harus menguras seluruh energi dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.
Sepanjang menyangkut gagasan terbentuknya negara Islam (Islam sebagai dasar negara dan ideologi), umat Islam telah berjuang bahu membahu meninggalkan perbedaan-perbedaan paham keagamaan antara mereka, terutama antara kalangan tradisional dan modern: sebagaimana disebutkan di awal,[6] kerjasama yang tercermin dalam BPUPKI dan PPKI, kemudian dilanjutkan dengan kongres umat Islam di Yogyakarta. Pada permukaan memperlihatkan suatu bentuk persatuan umat yang dirindukan. Namun dalam perkembangannya, baik dalam teori maupun praktek, persatuan itu tidak bertahan lama. Artinya benih-benih persatuan, yang mulai mereka rajut kembali, tidak mengesankan adanya bangunan kokoh persatuan. Perpecahan datang karena mekanisme penjatahan kedudukan atau peran politik tidak berjalan, dalam pengertian tidak memuaskan masing-masing pihak yang membentuk Fusi dalam Masyumi. Perpecahan yang diawali PSII (1947) dan kemudian NU (1952) merupakan indikasi awal perpecahan persatuan politik internal umat Islam Indonesia. Namun demikian, adanya faktor lain yang menyebabkan, atau bahkan mempercepat munculnya perpecahan adalah karena faksionalisme tradisionalis-modernis, yang pada gilirannya membentuk watak keagamaan tertentu pada masing-masing pihak.[7]
Masa Demokrasi Konstitusional (1950-1959), pada masa ini, Indonesia berada dibawah UUD 1950. Terlepas dari kenyataan bahwa negara telah mengalami beberapa kali perubahan konstitusi, UUD 1950 itu masih dianggap sementara. Karena itu dapat disimpulkan bahwa tugas utama Majelis Konstitusi adalah menyusun sebuah rancangan konstitusi yang permanen.
Kelompok Islam pada intinya menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologi politik yang sudah mereka kemukakan pada masa pra kemerdekaan, yakni mendirikan negara yang berdasarkan Islam. Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi negara berdasarkan argumen-argumen mengenai (1) watak holistik Islam, (2) keunggulan Islam atas semua ideologi dunia lain, dan (3) kenyataan bahwa Islam di peluk oleh mayoritas warga negara Indonesia.[8]
Dalam konteks Pancasila sebagai ideologi negara mengingat bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang heterogen secara keagamaan, beberapa tokoh Politisi PNI dan aktivis Kristen seperti Arnold Mononutu, Pancasila merupakan sebuah sintesis yang memadai bagi berbagai kelompok agama yang berbeda. Jika Islam harus dijadikan dasar negara, yang terutama ia khawatirkan adalah tempat kelompok-kelompok agama lain di Nusantara. Bagaimanapun hal itu mengandung citra diskriminasi konstitusional.[9]
Diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara serta dihapusnya “tujuh kata“ dari Piagam Jakarta dapat ditafsirkan sebagai kekalahan politik Islam. Kendatipun demikian, para pendukung gagasan negara Islam tersebut untuk sebagian besar tidak menyerah begitu saja. Gerakan Darul Islam (1949-1964) yang memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo dan perjuangan wakil-wakil Islam di dalam sidang konstitusi hasil pemilu 1955 untuk menggolakkan kembali gerakan negara Islam, merupakan indikasi konstitusi perjuangan mereka.[10]
Masa Demokrasi Konstitusional yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet-kabinet, baik oleh alasan-alasan politik-sekuler maupun keagamaan, telah mendorong presiden Soekarno untuk membubarkan konstituante. Melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959. Dengan dekrit itu, otomatis persoalan Piagam Jakarta terungkit kembali. Untuk itu presiden memutuskan bahwa persoalan Piagam Jakarta mempunyai hubungan kesejarahan khusus dengan UUD karenanya dianggap sebagai suatu bagian integral dari UUD itu sendiri. Pengakuan semacam itu terhadap Piagam Jakarta dapat diartikan sebagai indikasi adanya posisi khusus yang dimiliki umat Islam. Dan tampaknya umat Islam baik dikarenakan oleh problematika intern yang mereka hadapi, seperti konflik keagamaan, konsep politik tidak begitu jelas dan lain sebagainya, membuat mereka tidak begitu tanggap dalam mempergunakan kemunculan pengakuan terhadap Piagam Jakarta yang kedua kalinya itu.[11]
Masa Demokrasi Terpimpin (1957-1965) sejak Soekarno memberlakukan sistem Demokrasi Terpimpin, Indonesia memasuki masa dimana peranan demokrasi telah termanipulasi oleh prinsip-prinsip kediktatoran. Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup (1962) pada masa Demokrasi Terpimpin ini. Masa ini juga ditandai oleh keberhasilan PKI (Partai Komunis Indonesia) mendekati Soekarno. Meski pernah ‘digunting‘ tahun 1948 oleh pemberontakan komunis di Madiun, Presiden Soekarno justru memberikan keleluasaan lebih besar kepada PKI untuk bergerak dan menguasai panggung politik nasional. Hal ini mendatangkan implikasi cukup serius terhadap seluruh aspek kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai relevansi dengan kehidupan keagamaan umat Islam. Kebijakan lain Soekarno yang dinilai sangat merugikan Islam adalah keputusan untuk membubarkan Masyumi pada bulan Agustus 1960.[12]
Data perjuangan umat Islam yang terentang diatas sesungguhnya menggambarkan pergolakaan pemikiran dan perjuangan politik umat Islam. Pada periode itu, terutama periode menjelang kemerdekaan dan pada masa Demokrasi Liberal. Perhatian sebagian besar pemimpin Islam terpusatkan pada persoalan dan hubungannya dengan pembangunan politik ideologi, misalnya konsepsi bahwa Islam itu adalah dinun wa daulah (agama sekaligus terlibat dalam persoalan-persoalan kenegaraan); Islam itu meliputi kehidupan dunya wa al – akhirah (dunia dan akhirat) dan lain sebagainya.
Tidak satupun dari keinginan para pemimpin Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar dan ideologi negara terwujud. Kendatipun demikian hal ini tidak menjadikan proses ideologisasi Islam terhenti sama sekali.

[1] Tentang hal ini, Lihat Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987).
[2] Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dari Matahari Terbit, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
[3] Pada mulanya pembentukan Masyumi ini dimaksudkan untuk menggiring kekuatan Islam agar mau membantu Jepang dalam perang Asia Raya.
[4] Lihat Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta, (Bandung: Pustaka, 1980).
[5] Al-Chaidar, Reformasi Prematur: Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total, (Jakarta: Darul Falah, 1998) cet. Ke- 5. Hlm. 139.
[6] Dilihat dari komposisi personalia yang terlibat dalam kepengurusan Masyumi, tampak sekali bahwa partai ini melibatkan seluruh fungsionaris Islam pasca kemerdekaan. Kepengurusan dalam Majlis Syuro diketuai oleh Hasyim Asyari (wakil kalangan tradisionalis); sementara wakil-wakilnya adalah Wahid Hasyim, Agus Salim (PSII), Djamil Djambek (wakil dari golongan reformis dari Sumatra Barat) dan lain-lain. Sedangkan Pengurus Besar diketuai oleh Soekiman, Abikoesno Tjkrosoejoso, dan kemudian melibatkan M. Natsir, Muhammad Roem, dan juga Kartosuwirjo. Ibid., Hlm. 140.
[7] Ibid., Hlm. 143.
[8] Lihat B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia: 1945-1970. (terj. Safroedin Bahar), (Jakarta: Grafiti Pers, 1985).
[9] Al-Chaidar, Reformasi, Hlm. 146.
[10] Ibid., Hlm. 147.
[11] Ibid., Hlm. 150.
[12] Ibid., Hlm. 151.

[DOWNLOAD]